Saat-saat liburan inilah Gibran jatuh cinta yang pertama kali kepada seorang wanita, Hala Dahir namanya. Ia adalah cinta pertama Gibran. Sebuah hubungan perasaan yang membuat pikiran-pikirannya tergenang oleh renungan- renungan, yang dapat melahirkan kalimat-kalimat lembut. Terkadang pula menghasilkan hentakan-hentakan dahsyat, keras bagaikan prahara.
Awal kisahnya seperti percintaan klasik, ia jatuh cinta pada pandangan pertama. Gibran sering bertandang ke rumah Hala, untuk membantu adik-adik Hala menyelesaikan pekerjaan rumah. Saat-saat inilah kedua insan sering bertemu dan saling mengungkapkan isi hati, hingga cinta merasuk ke dalam kalbu, terpatri kokoh dalam relung hati masing-masing.
Meski cinta sudah membara, namun kenyataan bicara lain. Gibran mengalami hambatan dalam bercinta dengan Hala Dahir. Sebab hubungan ini tak mendapat restu dari keluarga Hala.
Iskandar Dahir, kakak Hala, sempat bertutur kepadanya: "Aku tidak akan menyetujui anak gembala pemungut pajak petani itu menjadi suamimu". Hala tak kuasa menghadapi situasi seperti ini. Sampai akhirnya Hala dijodohkan dengan pemuda pilihan orang tua, persis seperti diceritakan dalam Sayap-Sayap Patah, di mana Hala diganti dengan tokoh Selma Karamy.
Meski Hala sudah dinikahkan, Gibran tetap berkunjung ke rumah kekasihnya itu. Diajaknya Hala menikmati pemandangan alam pegunungan sambil mengenang masa manis yang silam, tanpa peduli resiko yang akan terjadi. Hubungan Gibran dengan Hala hanya berlangsung dua tahun. Hala pergi ke alam baka untuk selalr!anya.
Cinta kedua Gibran setelah Hala, jatuh kepada Sultanah Thabit. Wanita ini dijumpai ketika Gibran masih belajar bahasa Arab di sekolah al-Hikmah, di Beirut. Ia
adalah seorang janda berusia 22 tahun. Sedangkan Gibran baru berusia 18 tahun. Mereka sering bertukar buku dari berkirim surat. Gibran memang mencintai Sultanah, karena rasa iba, sebab sudah menjadi janda dalam usia muda.
Musibah yang berturut-turut menimpa Gibran ini meninggalkan bekas yang amat dalam pada jiwa penyair ini, dan telihat jelas dalam karya-karya selanjutnya. Inilah duka nestapa yang teramat berat bagi Gibran Khalil Gibran.
Pada tahun 1904 tulisan pertamanya dimuat di al- Mulhajir, sebuah surat kabar di Amerika Serikat dalam bahasa Arab. Kegiatan Gibran lebih banyak pada menulis dan melukis.
Gibran mengadakan pameran lukisan yang pertama pada tahun 1904, berkat bantuan juru potret Fred Holland. Karya-karyanya banyak mendapat pujian, namun tak seorang pun yang membelinya.
Diantara para pengunjung pameran, ada seorang wanita yang tersentuh hatinya dengan karya Gibran yang bernafaskan agama itu. Ia adalah Mary Haskell, seorang kepala sekolah. Ia menawarkan kepada Gibran untuk memamerkan lukisan-lukisannya di sekolahnya. Dari pertemuan ini menghasilkan jalinan persahabatan sejati, sehidup semati yang didasari oleh cinta platonik, yang lepas dari nafsu birahi. Mary Haskell menjadi pendorong bagi Gibran dan sponsor segala kegiatan. Ia juga yang mengoreksi karya-karya Gibran yang berbahasa Inggris.
Di samping Mary Haskell, Gibran juga menjalin hubungan dengan seorang guru asal Perancis, Micheline panggilan akrabnya dari beberapa wanita yang lain, tetapi tak pernah sampai kepada hubungan serius menuju perkawinan. Gibran tak mau terikat dengan tali perkawinan, karena ia menyadari bahwa peraturan-peraturan yang mengikat suatu perkawinan akan membelenggu jiwanya. Kebebasan adalah mutlak baginya. Karena itu, ia tak pernah menikah.
Atas biaya Mary Haskell, pada tahun 1908 Gibran berangkat ke Perancis untuk mendalami seni lukis. Di kota Paris, ia belajar seni lukis kepada pelukis terkenal Auguste Rodin. Pada tahun ini pula Gibran tampil untuk pertama kali sebagai pengarang melalui bukunya Arwah al-Mutamaridah. Buku ini menyoroti tajam institusi gereja dan peraturan-peraturan pemerintah yang dianggapnya bobrok, yang dibuat untuk menindas rakyat dengan kedok keadilan. Reaksi yang keras atas buku ini datang dari pemerintah Ottoman Turki. Akibatnya semua buku Gibran yang ada di pasaran dibakar dan penerbitan selanjutnya dihentikan. Sebagai hukuman, Gibran pun dikucilkan dari keanggotaan gereja Haronite.
Selama dua tahun (1908 -1910), Gibran belajar di Paris, di Academie Yulien dari Ecole Des Beaux Arts. Lalu ia pun kembali ke Boston.
Pada tahun 1912, Gibran pindah ke New York dan menetap di sana. Di kota ini pun biaya hidupnya masih ditanggung oleh Mary Hakell, hingga tahun 1920. Cinta
mereka berdua begitu mendalam. Tak seorang pun dapat mengubah hubungan mereka. Bahkan mereka ibarat satu jiwa yang tak bisa dipisahkan. Cinta Gibran pernah dipaparkannya melalui surat-surat. Sebanyak 319 surat dilayangkan Gibran kepada Mary. Sedang Mary sendiri menulis 206 surat kepada Gibran.
Gibran menulis surat kepada Mary: "Aku senantiasa mencintaimu sepanjang abad. Sungguh, aku terlalu mencintaimu sejak aku belum mengenalmu. Dan tak seorangpun yang mampu memisahkan kita. Engkau pun tak akan mampu mengubah hubungan kita, juga aku, juga Tuhan. Sebenarnya aku memiliki kesempatan banyak untuk mencintai wanita-wanita lain, baik di Boston maupun di Paris. Tapi antara aku dan kau sudah demikian lekat. Dan aku sangat berharap kepadamu, agar engkau selalu mengenal diriku. Di dunia ini engkau adalah wanita yang paling agung bagiku. Dan ikatan jiwa kita tidak akan lepas, meskipun engkau kawin tujuh lelaki yang berbeda-beda".
Itulah bentuk cinta Gibran kepada Mary. Bangunan cinta yang mereka ciptakan, sebetulnya tidak dilandasi cita-cita sebuah perkawinan. Sehingga akhirnya Mary Haskel kawin dengan laki-laki lain. Dan, seperti pengakuannya dalam suratnya kepada Mary itu. Gibran terus mencintai Mary.
Pada tahun 1926, tiga tahun setelah buku al-Nabiy (The Prophet) terbit, Mary memutuskan untuk meninggalkan Gibran. Mary bersama suaminya meninggalkan Boston dan menetap di Savana. Georgia.
Filosof Libarlon ini boleh dibilang suka bermain cinta. Ia bisa jatuh cinta setiap saat, dengan siapa saja, tanpa memutuskan hubungan dengan wanita sebelumnya.
Gibran juga pernah jatuh cinta kepada May Ziadah. Ia adalah sastrawati ternama yang menetap di Kairo, Mesir, Ayahnya bangsa Libanon dari ibunya berasal dari Palestina.
Di samping itu Gibran pun jatuh cinta kepada sekretaris pribadinya yang bernama Barbara Young.
Gibran adalah seorang penyair yang penuh dengan gejolak cinta sejati Menurutnya: "Cinta tidak berkeinginan selain mewujudkan maknanya". Ujud dari pada cinta bagi Gibran adalah kebebasan dari keterpautan hati meski tak menjadi satu raga. Inilah contoh cinta yang melandasi hubungannya dengan Hay Ziadah.
Dari perjalanan hidupnya, dari wanita-wanita yang dekat dengannya, tak satu pun yang pernah mengukir mahligai perkawinan. Sampai akhir hayatnya. ia tetap melajang .
Pada masa sepuluh tahun pertama, sejak ia pindah ke New York, Gibran mulai dikerlal orang, baik di Arab mau pun di Barat. Ia dikenal bukan hanya melalui lukisan- lukisannya, tetapi juga melalui tulisan-tulisannya. Ia menulis dalam bentuk puisi, parabel, cerita pendek dan esei.
Keharuman namanya menjadi cambuk untuk terus bekerja tanpa memperhatikan kondisi dirinya. Sehingga tak terasa bahwa dirinya telah mengidap penyakit paru-paru dan hati yang kronis.
Pada tangga 19 April 1931. Seorang sekretarisnya Barbara Young menemukan Gibran dalam keadaan kritis kamarnya. Lalu dibawanya ke rumah sakit.
Pada keesokan harinya Jumat 10 April 1931, Gibran Khalil Gibran meninggal dunia. Ia menutup mata untuk selama-lamanya dalam usia 48 tahun.
Jenazah Gibran tidak dimakamkan di tanah airnya yang baru, Affrika. Ia selalu merindukan Wadi al-Qadisa (Libanon) dan ingin kelak tubuhnya dibaringkan dengan Biara tua yang sunyi. Har Sarkis ditemani oleh pohon-pohon cedar. Itulah permintaan yang kemudian menjadi kenyataan.
Semua bukunya baik yang sudah terbit, maupun yang belum, ia wariskannya kepada penduduk Besharri, yang kemudian disimpannya di sebuah museum kecil.
0 Komennt:
Posting Komentar